Mengenal Tradisi Perang Berburu Kepala (Ngayau):
Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Pada tradisi Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. Makna dari Ngayau mempunyai arti turun berperang dalam rangka mempertahankan status kekuasaan misalnya mempertahankan atau memperluas daerah kekuasaan yang dibuktikan banyaknya kepala musuh. Semakin banyak kepala musuh yang diperoleh semakin kuat/perkaya orang yang bersangkutan. Ngayau juga merupakan lambang kekuasaan dan status kedudukan orang dayak. Disamping itu ngayau dahulu di posisikan sebagai pemenuhan mas kawin seorang pria bila pengantin wanitanya mensyaratkan adanya kepala seperti dalam cerita legenda Ne’ Dara Itam dan Ria Sinir. Kini tradisi memburu kepala atau “ngayau” tidak lagi diamalkan dan telah diharamkan sejak zaman penjajahan. Banyak pihak berpendapat bahawa, “lelaki Dayak yang berhasil memperoleh kepala dalam ekspedisi ngayau akan menjadi rebutan atau kegilaan para wanita” ini kerana ia melambangkan keberanian dan satu jaminan dan kepercayaan bahawa lelaki tersebut mampu menjaga keselamatan wanita yang dikawininya. Sebenarnya kenyataan itu tidak 100% tepat, malah masih dipersoalkan. Dikatakan demikian kerana menurut cerita lisan masyarakat Dayak (Iban) di Rumah-Rumah panjang, selain orang Bujang ada juga individu yang telah berkeluarga menyertai ekspedisi memburu kepala. Oleh itu, paling tepat kalau kita katakan bahwa, Ngayau” dijalankan untuk mendapat penghormatan masyarakat. Dalam arti lain “ngayau” juga berperanan untuk menaikan taraf sosial seseorang. Orang yang pernah memperoleh kepala dalam “ngayau” akan diberi gelar “Bujang Berani”, serta dikaitkan dengan hal-hal sakti. Ternyata bahawa masyarakat dayak, seperti Dayak Iban Tradisional tidak memandang “Ngayau” sebagai perkara yang memudaratkan. Malah berdasarkan cerita lisan masyarakat Iban juga, “ngayau” sentiasa dikaitkan dengan bebagai positif. Misalnya, “Ngayau sebagai lambang keberanian, Simbol Kelelakian, serta martabat Sosial. Adat Ngayau pertama kali dilakukan urang Libau Lendau Dibiau Takang Isang (kayangan) yang saat itu sebagai tuai rumah (kepala kampung) yang bernama Keling. Berkat keberaniannya dan kegagahannya dia diberi gelar keling Gerasi Nading, Bujang Berani kempang (keling merupakan orang yang gagah berani). Gelar tersebut diberikan oleh seseorang tetua Iban yang bernama Merdan Tuai Iban yang saat itu tinggal di Tatai Bandam (masuk dalam wilayah Lubuk Antu Sarawak Malaysia). Asal usul kata ngayau umumnya terdapat kesepakatan di kalangan suku Dayak. Namun, kapan ngayau dimulai dan bagaimanakah sejarahnya, agaknya masih simpang siur dan sering muncul dalam berbagai versi. Hal itu disebabkan belum ada studi dan catatan sejarah mengenai asal mula ngayau secara detail dan kronologis. Hanya ada catatan mengenai kesepakatan bersama seluruh etnis Dayak Borneo untuk mengakhirinya. Ini terjadi pada pada 22 Mei – 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah. Benar adanya bahwa sebelum perjanjian Tumbang Anoi disepakati, terjadi praktik headhunting bahkan di kalangan sesama Dayak. Praktik ngayau antarsesama Dayak ini sukar dibantah dan memang demikianlah adanya. Dayak Jangkang misalnya, dahulu kala bermusuhan dengan Dayak Ribunt. Padahal, keduanya tidak berjauhan tempat tinggal. Apakah faktor yang menyebabkan pengayauan antarDayak ini terjadi? Saling mengayau di antara sesama Dayak, sejatinya bukanlah semata-mata mencari kepala musuh sebagai tanda bukti kekuatan dan kebanggaan sebagaimana selama ini dipersepsikan banyak orang. Alasan ini terlampau sederhana! Lebih dari itu, dilatari juga oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara mempertahankan diri: menyerang lebih dulu sebelum diserang. Ini mirip dengan pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk perang). Masuknya agama Katolik di tengah-tengah etnis Dayak, terutama dengan datangnya misi Katolik ke pulau Borneo di pengujung abad 18, membawa pengaruh baik. Perlahan-lahan ajaran Katolik tentang balas dendam (mata ganti mata, gigi ganti gigi) merasuk dalam hidup orang Dayak. Ajaran Kristen yang radikal untuk tidak balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, tulang ganti tulang” segera merasuk etnis Dayak. Ajaran cinta kasih ini menyadarkan masyarakat Dayak untuk segera menghentikan tradisi mengayau ini. Musyawarah ini dihadiri para kepala adat se-Kalimantan yang berkumpul dan bersepakat untuk menghentikan pengayauan antarsesama Dayak. Namun, pertemuan yang berbuah kesepakatan Tumbang Anoi sendiri diprakarsai pemerintah Hindia Belanda. Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….” Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh. Dayak Jangkang, ngayau juga disebut ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, mengahantui, meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala). Namun, serta merta perlu diberikan catatan pada apa yang disebutkan perbuatan dan tindak-budaya ini. Kedengarannya aneh di telinga untuk saat ini. Namun, jika menyelami keyakinan etnis Dayak lebih mendalam maka kita akan segera menjadi mafhum di balik tradisi mengayau ini. Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi. Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas. Prinsip bahwa mata ganti mata, gigi ganti gigi benar-benar diterapkan. Meski mengalami penyempurnaan dan penyesuaian, sisa-sisa praktik ini “mata ganti mata, gigi ganti gigi” ini masih diteruskan di Jangkang hingga hari ini. Pasal-pasal hukum adat Kecamatan Jangkang masih terasa kental nuansa penuntutan atas pertumpahan darah ini. Terbukti dari diaturnya secara detail pasal-pasal yang menetapkan pengadilan atas perkara dari mulai yang terkecil kasus pertumpahan darah hingga mengakibatkan kematian, yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut dengan “Adat Pati Nyawa”. Satuan untuk menghitung ganti atas pertumpahan darah unik, disebut dengan tael. Di masa lampau, menghilangkan nyawa manusia baik sengaja (misalnya tertembak waktu berburu) maupun secara sengaja maka si pelaku akan mengalami kesulitan membayarnya. Seisi keluarga dan sanak saudara akan turut terlibat membantu. Bahkan, bukan tidak mungkin sampai seumur hidup pelaku menunaikan kewajibannya membayar Adat Pati Nyawa. Apakah Adat Pati Nyawa? Secara harfiah, pati berarti sari atau inti. Kata “pati” kerap muncul dalam bahasa Dayak dengan inisial dan pembagian Djo (lihat Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas, “Djongkang: A language of Indonesia” (Kalimantan) ISO 639-3: djo Jadi, pati nyawa adalah pengganti nyawa yang hilang. Tentu saja, hukum pati nyawa ini tidak berlaku dalam ngayau. Dan hanya berlaku dalam keadaan normal saja, sebab pekik ngayau haruslah datang dari aump dan merupakan hasil dari permufakatan bersama. Demikianlah, ngayau pun harus disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal bagi komunitas Dayak dan harus melalui hasil mufakat bersama. Disebut komunitas, karena suatu kampung biasanya menempati sebuah batang atau rumah panjang. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas. Patut diberi catatan tambahan bahwa ngayau di kalangan suku Dayak umumnya, dan Dayak Djongkang khususnya, bukan sekadar memanggal kepala musuh. Ada filosofi yang melatarinya. Banyak kandungan hikmah, meski sekilas tampak sadis, di balik itu semua. Orang luar yang kurang memahami secara mendalam filosofi dan latar di balik tradisi ngayau, sehingga menarik simpulan entimema: orang Dayak biadab, sadis, pemburu kepala manusia, dan headhunting. Tentang labeling bahwa Dayak adalah pemburu kepala manusia ini, Wikimedia bahkan mencatatnya sebagai “budaya” yang semestinya harus serta merta diberikan catatan bahwa itu adalah gambaran Dayak masa lampau. Perjanjian Tumbang Anoi yang difasilitasi Pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan budaya ngayau ini. Di beberapa subsuku memang masih berlangsung, namun di Kalbar tradisi mengayau sudah berakhir pada sekitar sejak tahun 1938. Toh demikian, Wikipedia yang tidak tahu sejarahnya masih mencatat demikian, “Headhunting was an important part of Dayak culture, in particular to the Iban and Kenyah. There used to be a tradition of retaliation for old headhunts, which kept the practise alive. External interference by the reign of the Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo curtailed and limited this tradition. Apart from massed raids, the practice of headhunting was limited to individual retaliation attacks or the result of chance encounters. Early Brooke Government reports describe Dayak Iban and Kenyah War parties with captured enemy heads. At various times, there have been massive coordinated raids in the interior, and throughout coastal Borneo, directed by the Raj during Brooke’s reign in Sarawak. This may have given rise to the term, Sea Dayak, although, throughout the 19th Century, Sarawak Government raids and independent expeditions appeared to have been carried out as far as Brunei, Mindanao, East coast Malaya, Jawa and Celebes. Tandem diplomatic relations between the Sarawak Government (Brooke Rajah) and Britain (East India Company and the Royal Navy) acted as a pivot and a deterrence to the former’s territorial ambitions, against the Dutch administration in the Kalimantan regions and client Sultanates.” Tidak mengherankan, dalam literatur dan laporan-laporan tertulis pada zaman kolonial, Dayak dicap sebagai suku asli Borneo yang tidak berkeadaban. Meski para peneliti dan ahli antropologi tidak memasukkan Dayak sebagai suku terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting, toh stereotipe sebagai pengayau masih melekat kuat minimal hingga kerusuhan etnis terjadi di Sambas pada 19 Januari 1999 di Desa Parit Setia, Kecamatan Jawai, Sambas dan kemudian merambat ke Sampit pada 18 Februari 2001. Banyak orang melihat pertalian kejadian itu, meski sebenarnya berbeda dalam hal casus belli dan eskalasi. Akan tetapi, satu yang sama: solidaritas di kalangan etnis Dayak tumbuh menghadapi bahaya dari luar. Dalam konteks mempertahankan diri dan melakukan tindakan menyerang lebih dulu sebelum diserang ini, dapat dipahami latar dan filosofi ngayau. Seiring dengan kemajuan jaman, Upacara adat Ngayau yang sering dilakukan mempunyai makna mengisyaratkan atau memberitahukan generasi muda tentang peristiwa Ngayau pada jaman dulu. 1. Bahan-bahan yang dipersiapkandalam upacara ngayau, antara lain: - 7 piring pulut (ketan) - 7 piring tempe (pulut yang dicampur dengan beras) - 7 piring rendai (terbuat dari beras ketan yang disangrai) - 7 butir telur ayam matang - 1 piring berisi: sirih, gambir (sedek), rokok, kapur pinang, buah pinan, tembakau, 7 buah ketupat yang diikat, beras dicampur pulut, 7 jalong cubit, seikat benang yang diikatkan di sungki (ketupat/lepat diikat dengan daun). - 1 piring utai bekaki (tepung pulut dicampur dengan tepung beras dibuat hiasan seperti tutup sersang, bintang, bintang banyak, udang, pesawat, dan sebagainya). -3 piring udah berisi bahan-bahan yang digunakan dalam upacara dan ditempatkan dalam ancak yang terbuat dari potongan bambu yang dirangkai dengan seutas tali. - 2 ekor babi (boleh jantan atau betina). - 3 ekor ayam jantan - tengkorak manusia sebagai simbol - 1 buah kelapa tua sebagai simbol kepala manusia - minuman tuak Peralatan perang antara lain : - sangkok atau tombak - terabi (perisai) - tersang (ancak) terbuat dari bambu untuk menyimpan sesajian - mandau - 1 buah bendera dengan 5 warna : - merah = sifat berani - hijau = lambang kesuburan - kuning = melambangkan ketulusan - hitam = melambangkan perlindungan dari orang yang bermaksud tidak baik. - putih = melambangkan hati dan pikiran yang suci/jernih. Alat-alat yag digunakan : - grumung (gong kecil) - tawak (gong besar) - gendang -bebendai (gong sedang) Prosesi Upacara - Ngantar pedara (ngantar sesajen) 1. Sebelum turun mengayau, satu minggu sebelumnya para wanita mempersiapkan segala perangkat adat yang dipergunakan untuk membuat sesajen (pedara). Persiapan untuk membuat sesajen disebut engkira, yaitu mempersiapkan segala bahan-bahan yang digunakan untuk upacara. Sedangkan kaum laki-laki mempersiapkan segala peralatan untuk berperang dan mendata pengaroh (jimat) serta begiga (berburu), mencari lauk pauk untuk persediaan perbekalan selama ngayau. 2. Para Kesatria perang duduk secara berderet lalu bermacam-macam sesajen yg masing-masing terdiri dari 7 piring dihidangkan di depan kesatria. 7 piring mempunyai makna 7 lapis langit. 3. Membaca mantra dilakukan oleh kepala kampung lalu mengibaskas ayam diatas kepala ksatria perang sebanyak tiga kali dan dilakukqan secara berulang-ulang. 4. Kepala kampung mengajak ketua adat yang dipilih untuk membuat sesajen yang diawali dengan pembacaan mantra atau jampi-jampi, lalu ketua adat mencurahkan air tuak sebanyak 7 kali untuk memanggil roh nenek moyang yang dianggap sebagai pelindung dalam perang untuk melindungi dan membantu selama berperang. 5. Mencurahkan atau membuang tuak sebanyak 3 kali untuk mengundang orang-orang dari kayangan untuk hadir dirumah Betang. 6. Ketua adat meminum tuak supaya roh-roh nenek moyang yang sudah berada dirumah Betang untuk melakukan kompromi dalam membuat sesajen yang dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang yang hadir di rumah Betang. Dalam membuat sesajen, yang pertama diambil adalah pulut sebagai lambang perekat kebersamaaan, dimana dalam perang diperlukan adanya persatuan dan kesatuan. 7. Kepada kampung mempersiapkan para tamu untuk menikmati hidangan yang disajikan oleh kedua wanita, maknanya adalah para tamu diharapkan untuk mendukung kegiatan/ peperangan yang akan dilakukan. 8. Kepala kampung mengajak para ksatria perang meminum tuak maknanya memberikan semangat kepada ksatria dalam menghadapi peperangan. 9. Kepala kampung mengambil tumpe lalu menaburkan padi yang telah disanangrai yang melambangkan bahwa masyarakat Dayak Iban mempunyai hati nurani yang jujur dan luhur. 10. Mengambil sirih dan perlengkapan seperti :rokok, daun apok, serta perlengkapan sesajen yang lain masing-masing diambil 5 batang untuk setiap satu piring, lalu ditaruh diacak yang didirikan ditiang tengah dari rumah Betang/tiang ranyai agar orang-orang panggau (kayangan) bersama dengan para tamu dirumah Betang. Turun Ngayau 1. Kepala adat membaca mantra untuk peralatan perang supaya diberkati oleh ketua-ketua adat yang telah mendahului. 2. Kepala adat memotong ayam dilakukan diatas`tangga dan diambil darahnya untuk mengolesi kaki dan dahi para ksatria yang akan berperang agar diberkati. Setelah itu mencabut bulu ayam dan dioleskan didahi para tamu agar tridak diganggu oleh roh-roh jahat. 3. Para ksatria perang mengambil peralatan perang (pedang dan perisai) sertau mandau yang diselipkan dipinggang. 4. Lalu para ksatria menuruni tangga rumah Betang dengan korban satu ekor babi dengan maksud agar orang panggau (kayangan) ikut bersama dan membantu dalam perang. 5. Para ksatria mengatur strategi supaya dapat memotong kepala musuh yang berada didaerah-daerah. 6. Terjadilah pertempuran atau mengayau, musuh akhirnya kalah dan dipotong kepalanya yang dilambangkan dengan kelapa tua atau tengkorak manusia. 7. Setelah berhasil memotong kepala musuh, para ksatria meluapkan kegembiraan dengan menari-nari lalu mengatur strategi untuk kembali ke rumah Betang. 8. Para ksatria meletakkan hasil perolehan selama perang didepan tangga menuju rumah Betang sambil bercengkerama mengisahkan pengalaman mereka selama perang. 9. 2 orang wanita dan pawangnya menuruni tangga rumah Betang untuk mengantar sesajen untuk memberkati hasil perang. 10. Tuai rumah mengibaskan ayam dan memilih orang-orang yang akan membuat sesajen yang akan dipersembahkan kepada orang panggau ( kayangan ) yang telah membantu perang. 3 piring ditempelkan kepada 3 ancak yang terbuat dari bambu lalu dipasang pada tangga menuju rumah Betang untuk persembahan. Menurut kepercayaan mereka, sesajen ini selama 3 hari tidak boleh diganggu karena dapat mendetangkan musibah. Memasuki rumah Betang 1. Setelah terdengar bunyi-bunyian alat musik sebagai pertanda bahwa para kesatria perang diperbolehkan untuk menaiki rumah betang dengan terlebih dahulu dibacakan mantera, lalu para ksatria dikibas dengan ayam, mencabut bulu ayam, memotong babi lalu dioleskan di dahi barulah menaiki tangga rumah betang. Sampai pada tangga paling atas dicurahkan tuak, lalu tuai rumah memberikan minuman tuak untuk memberi semangat kepada para ksatria perang yang telah berhasil memotong kepala musuh. 2. Setelah di rumah betang, kepala kampung menyiapkan sesajen lalu mengibaskan ayam kepada para ksatria perang. 3. Ayam dipotong darahnya dioleskan ke kepala musuh (tengkorakmanusia) yang berhasil dipotong dan buah kelapa (sebagai simbol), mencabut bulu ayam lalu di oleskan di dahi para ksatria, sesajen diletakkan atau digantung diancak yang ditaruh pada tiang ranjai. 4. Para ksatria perang dengan membawa kepala musuh dan kelapa menari bersama dengan para wanita mengelilingi tiang ranyai sebagai ungkapan syukau kepada para panggau (orang kayangan) yang telah membantu perang, lalu mengelilingi rumah betang. 2. Kepustakaan 1. http://ceritadayak.blogspot.com/ 2. jodhi yudono pada http://ai-pengayu.blogspot.com/ 3. http://banuadayak.wordpress.com